Amadeus Aaron, Sahabat Kecil Kami
“Terima kasih, Tuhan, telah memberi kami anugerah untuk bersama dengan Amadeus Aaron selama
Tidak banyak orang yang dilimpahi cinta Tuhan dengan cara yang seistimewa ini. Dan, di antara yang sedikit itu, betapa bersyukurnya kami karena tangan kemurahan-Nya memilih kami.
Kehadirannya pertama kali kami sadari sebagai kejutan sangat di luar dugaan pada suatu pagi bulan September. Rina, istri saya yang setahun sebelumnya menjalani sterilisasi, terlambat bulan. Test pack menunjukkan hasil positif. Pemeriksaan dokter melalui USG meneguhkannya. Aha, rupanya Tuhan mau mengajak kami bercanda: “Kalian menutupnya, lihat, Aku masih bisa menerobosnya!”Terus terang, kami sempat was-was dengan kehamilan ini, terutama karena usia Rina sudah di atas 40 tahun. Tetapi, akhirnya kami meneguhkan hati, percaya bahwa kalau Tuhan memberi, tentu Dia memberikan yang terbaik. Terlebih seorang anak yang cara hadirnya saja sudah begitu istimewa, menembus benteng yang dibangun teknologi manusia. Kami pun mempersiapkan diri untuk kembali menimang bayi. Kedua kakaknya, Lesra (9 tahun) dan Tirza (7 tahun), kami beri tahu untuk bersiap menyambut kehadiran adik baru.
Rina sempat pendarahan tiga kali selama empat bulan pertama kehamilan, namun semua teratasi melalui pengobatan dan bed rest di rumah. Hampir seperti ketika kehamilan Tirza. Kali ini, naluri keibuannya mengatakan, anak dalam kandungannya laki-laki. Aaron, yang berarti gunung kekuatan, adalah nama yang terlintas dalam hatinya. Ah, kiranya ia akan sehebat pahlawan Eksodus itu, dan bolehlah sedikit lebih bandel dari kakak sulungnya.
Selasa malam memasuki minggu ke-27, mendadak Rina pendarahan lagi. Seperti kalau menstruasi. Segera kami ke rumah sakit. Rina harus diopname untuk menerima upaya penghentian pendarahan. Kondisi bayi terpantau bagus. Tetapi, kandungan perlu diperkuat dan dipertahankan beberapa minggu lagi, kiranya bayi lahir dalam kondisi lebih siap. Pendarahan akhirnya mereda, namun Rina sesekali masih mengeluarkan bercak kehitaman. Sampai... Minggu pagi, bercak kental kehitaman itu keluar dalam kadar mengkhawatirkan. Dokter segera dihubungi. Ia meminta persetujuan kami untuk melakukan operasi caesar.
Di tengah masa perawatan itu, satu nama muncul dalam benak saya: Amadeus, kasih Allah. Berbagai drama yang kami lewati sepanjang persiapan kelahirannya menanamkan kesan dalam hati bahwa, sungguh, ini anak yang sangat dikasihi oleh Allah.
Minggu, 17 Januari 2010, sekitar pukul 12.00, Rina memasuki ruang bedah RS Bethesda, Yogyakarta. Pukul 12.30, Amadeus Aaron keluar dari kamar operasi dan dilarikan ke ruang observasi bayi. Pukul 17.30, ia mendenyutkan degup jantung terakhirnya.
Hanya 5 jam.
Tetapi, betapa panjang terasakan---dan betapa penuh makna.
Sepanjang melangkah ke rumah duka, sebuah lagu mengiang di hati saya, versi bahasa Jawa dari He Leadeth Me ‘Tenanglah Kini Hatiku’. ”Kami akan mengalunkannya untuk mengantarkan keberangkatanmu, nak,” bisik saya.
Gusti nuntun lampah kula
Saklangkung nggen kula begja
Tenga pundi puruk mami
Tansah kula dipun kanthi
Nggih Gusti kang nganthi mami
Asta-Nya p’yambak kang nganthi
Sun nderek teng pundi-pundi
Wit kinanthi dening Gusti
Tuhan sesungguhnya telah menenangkan hati kami sejak lama. Sejak kehadirannya terdeteksi, sahabat-sahabat kami sudah berbagi sukacita, harapan, dan doa. Ketika Rina mulai opname, kami dinaungi oleh doa dan dukungan semangat para sahabat. Rina juga sempat menerima transfusi darah. Ketika ia dioperasi, seorang sahabat kami ternyata ikut menjadi bagian dari tim bedah. Adapun ruang tunggu penuh oleh para sahabat lainnya, termasuk beberapa teman Lesra dan Tirza.
Menjelang operasi, dokter mempersiapkan hati dengan memberikan gambaran medis tentang kemungkinan hasil operasi. ”Ini memang seperti buah simalakama. Kalau pendarahan berlanjut, hal itu akan membahayakan sang ibu. Bila bayi dilahirkan sekarang, kondisi bayi kemungkinan besar akan kritis---kita perlu memantau perkembangannya selama
Ketika Amadeus Aaron dibawa ke ruang observasi, tempat itu menjadi ajang reuni kecil: bukanlah kebetulan bila suster yang bertugas adalah seorang sahabat lama. Meskipun sekota, sekian waktu kami tidak saling berjumpa. Saya pun tahu Aaron berada di tangan yang baik.
Saat kondisi bayi kian kritis, saya diberi kesempatan menunggu di dekatnya. Apa yang bisa saya lakukan kecuali mengelus-elusnya---ah, tubuh mungil itu belum mungkin digendong---dan membisikkan namanya, cinta kami, harapan kami sebagai orangtua, dan semoga ia kuat. Sampai degup terakhir itu.
“Amadeus Aaron sudah mendapatkan tempat yang lebih baik. Ia pulang ke pangkuan Bapa. Tolong, temani aku memberi tahu Rina, ya?” saya menelepon pendeta jemaat dan sahabat saya, Tommy H. Wibowo.
Tentu tidak perlu saya katakan betapa hati saya berduka, namun saya dapat memastikan betapa sepanjang masa berkabung itu kami sekeluarga diliputi oleh selimut cinta Tuhan yang begitu tebal. Dia menggelontorkan cinta-Nya secara bertubi-tubi. Sahabat-sahabat dari jemaat mulai berdatangan dengan pancaran mata yang penuh simpati, pelukan yang meneguhkan, ucapan yang menghangatkan hati. Sejumlah saudara dan sahabat dari jauh menelepon, atau mengirimkan pesan belasungkawa ke telepon genggam kami. Di rumah duka, ada sahabat yang membawa laptop, dan saya mendapati dinding Facebook saya mulai dipenuhi ucapan turut berdukacita.
Kalau saya tidak limbung pada malam itu, tidak lain karena gebyuran gelombang cinta itu jauh lebih kuat daripada badai kepedihan. Malam itu, saya hanya ingin berlama-lama menimang tubuh mungil Amadeus Aaron sebelum kami menidurkannya di dalam peti.
Menjelang kebaktian penghiburan siangnya, Tuhan secara khusus mengirimkan pesan cinta-Nya melalui pendeta dan sahabat kinasih kami, Eriel dan Sinta Siregar yang secara khusus datang dari
“Allah tidak pernah melakukan kesalahan. Jalan-jalan-Nya memang penuh misteri bagi kita, dan kita tidak mengetahui bagaimana awal dan akhirnya. Tetapi, Dia menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya.”
Sepanjang kebaktian penghiburan saya hanya bisa menatap langit Jogja yang biru cerah bertabur serpihan awan putih. Saya tidak sanggup turut bernyanyi. Baru pada lagu terakhir, lagu berbahasa Jawa tadi, suara saya bisa keluar secara lantang dan mantap.
Sungguh, Tuhan, Engkau sudah menenangkan hati kami. Dan, Amadeus Aaron kini telah terlelap tenang dalam ribaan-Mu.
Saya pun mulai mengerti mengapa anak itu bernama Amadeus Aaron.
Amadeus---sungguh, engkau anak yang sangat dikasihi Allah, dan karenanya engkau pun dikasihi saudara dan sahabat-sahabatmu. Sangat banyak pihak yang kepada mereka kami patut mengungkapkan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya. Tetapi, kami tidak akan---tidak mampu---menderetkannya satu persatu. Biarlah nama-nama dan kebaikan mereka menjadi merjan-merjan permata yang senantiasa bersinar-sinar menghangatkan relung hati kami.
Dan Aaron, oleh kehadiranmu Tuhan meneguhkan kekuatan-Nya secara istimewa bagi kami. Yesus Kristus ialah Sahabat Sejati dan Gunung Kekuatan yang menyerahkan nyawa-Nya bagi orang berdosa. Tetapi, bagi kami berempat---Rina, Lesra, Tirza, dan saya---Tuhan menghadirkan satu lagi sosok sahabat kecil. Sempat mengeluarkan tangisan pendek, sosok itu hanya berbobot 1,2 kg, dengan paru-paru yang berjuang keras untuk menghirup udara bumi, dengan jantung yang tahan berdegup selama lima jam---lima jam paling penuh keberanian yang pernah kami kenal dari dekat. Keberanian seorang sahabat dalam arti terbaiknya: ”Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya.”
Selebihnya, saya teringat pada Ashoke Ganguli dalam film The Namesake. Ia memberi nama anaknya Gogol. Ketika Gogol kuliah, nama yang diambil dari pengarang Rusia yang depresi itu membuatnya diolok-olok kawan sekelasnya. Gogol kecewa pada sang ayah sampai suatu saat Ashoke menjelaskan mengapa ia memberikan nama itu. Ketika mengalami kecelakaan maut kereta api yang nyaris merenggut nyawanya, ia sedang membaca buku karya Nikolai Gogol. ”Baba, itukah yang kaupikirkan ketika engkau memikirkan saya? Apakah saya mengingatkan engkau akan malam itu?” Ashoke menjawab, ”Sama sekali tidak. Engkau mengingatkan saya akan segala sesuatu sesudahnya. Setiap hari sesudah peristiwa itu adalah suatu karunia, Gogol.”
Itulah pula yang saya rasakan. Setiap hari sesudah
Jadi, kalau suatu saat Anda melihat kami berempat, ketahuilah, kehidupan yang kami nikmati itu ialah satu lagi anugerah istimewa yang secara khusus dilimpahkan-Nya kepada kami melalui kehadiran seorang pahlawan: Amadeus Aaron. Pahlawan gagah berani yang, kubayangkan, pada degup-degup terakhirnya berucap, “Ibu, lebih baik saya pulang lebih dulu. Perjalanan Ibu masih perlu dilanjutkan bersama Bapak dan kakak-kakakku tercinta---Lesra dan Tirza. Selamat jalan, sampai jumpa. Tuhan memberkati kalian.”
Ya, terima kasih, nak. Terima kasih, pahlawan kecil kami. Lewat hidupmu yang hanya lima jam, engkau memperlihatkan betapa kasih Allah itu adalah gunung kekuatan kita. Ya, terima kasih, dan selamat jalan, sahabat kecil. Kami bangga padamu---sangat bangga. Kami mencintaimu---sangat mencintaimu. Sampai jumpa di rumah kekal Tuhan kita. ***
Jogja, 20 Januari 2010
Komentar-komentar |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|