Yah, judulnya saya rasa dah cukup jelas. I’m getting married. *glek … * Dari dulu saya mikir gimana yah rasanya menulis artikel dengan judul itu. :p Secara kadang saya pikir kecil kemungkinan saya bakal menikah. Lah dari dulu patah hati melulu.
But yah ternyata, “Akhirnya …” begitu kata teman-teman saya. Terutama yang sering saya curhatin tentang gbt saya yang segambreng. Btw busway … saya mengamati sepertinya teman-teman saya lebih excited daripada saya. : o Hampir semua mendengar dengan muka kegirangan, beberapa mendesah “How sweet”, beberapa memeluk saya sedangkan saya cuman nyengir kuda. Hehehe.
Kenapa saya ngga se-excited teman-teman saya? Karena … begitu saya bilang iyaa … tiba-tiba terpampang masa depan yang ‘asing’. Kata orang, menikah, itu merupakan suatu perubahan besar. Saya bilang iya. En katanya perubahan itu mendatangkan stress sendiri. Ini saya juga setuju. Dan kalau saya mengatakan, Ya, mau menikah dengan pacar saya ini (yang sudah saya katakan) maka itu artinya, saya tidak hanya akan pindah ke rumahnya, saya pindah ke negaranya … en tiba-tiba muncullah serangkaian pertanyaan yang menimbulkan kegelisahan di hati saya. ada begitu banyak pertanyaan.
Di saat seperti ini saya sering bilang ama Babe, “Be … kalau ada orang yang sangat ingin gue temui, maka orang itu adalah Ribka. Ribka istrinya Ishak. Dia itu beriman atau gila sih?” Bayangkan memutuskan untuk menikah dengan orang yang dia sama sekali belon pernah temui. Plus meninggalkan keluarganya pindah ke Negara asing. Mana zaman dulu belon ada sms, chatting, en pesawat.
Yah kalau saya ragu biasanya sih akhirnya membaca ulang kisah Ishak dan Ribka. En di sepanjang kisah itu, tidak ditulis sepatah kata pun mengenai perasaan maupun pergumulan Ribka. Tapi ditulis beberapa ayat mengenai TINDAKAN Ribka. Ketika saya bertanya ama Tuhan, “Tuhan kenapa ngga ada ditulis 1 ayat pun mengenai perasaan Ribka?”, tiba-tiba saya ingat ketika Alkitab tidak mencatat sesuatu maka artinya itu menurut Tuhan tidak penting. Saya tau bukannya Tuhan tidak menganggap penting perasaan Ribka, tapi Tuhan lebih melihat tindakannya. Tindakan yang dia ambil yang Tuhan perhitungkan.
Iman nya tidak kelihatan dari kata-kata tapi dari tindakan.
Tuhan satu-satunya mengerti banyak hal yang menjadi pergumulan saya. Salah satunya adalah pergumulan bahwa cerita cinta saya sama sekali jaaauuhhh dari cerita cinta ‘ideal’ yang tadinya saya bayangkan. :p
Tadinya saya mengharapkan dapet seorang co yang kerohaniannya ‘waaahh’ (definisi ‘waah’ saya adalah: selesai saat teduh bilang, “Tadi saya mendapat rhema dari Tuhan …”, or tadi “Tuhan bicara kepada saya”, kalo doa semangat dan berapi-api, bisa bahas ayat-ayat berjam-jam, dan erhm bisa bahasa Roh). Coz menurut saya, itu yang sepadan dengan saya. Tapi ternyata kok dikasih yang laen. Pertama kali deket dengan pacar saya, saya interview dulu … “Kenapa loe jadi Kristen?”, tadinya saya mengharapkan jawaban yang ‘wah’. Jawaban yang saya dapat adalah, “Karena lebih logis untuk percaya kepada Tuhan daripada tidak percaya pada Tuhan.” saya melongo. :o Lebih logis?? Gubraks!!! Saya mengharapkan jawaban, “Oh saya percaya kpd Tuhan karena Tuhan telah menyentuh hati saya … Tuhan menyadarkan akan dosa-dosa saya.” Lah ini orang kok bukan gitu jawabnya?? Pertanyaan2 saya berikutnya model kapan lahir baru, gmana pas lahir baru,etc, jawabannya juga kurang meyakinkan buat saya. Jadilah tadinya saya mencoret nama co saya dengan catatan, “sepertinya belon lahir baru.”
*oh my … siapakah saya berhak menghakimi hamba orang laen …*
Tapi anehnya ketika saya mencoba untuk argue dengan Tuhan soal kerohanian pacar saya, Tuhan tidak banyak berkomentar. Sampe beberapa hari yang lalu, saya pernah bilang, “Tuhan, aku masih pengen co yang bisa bahasa Roh loh.” En saya merasa Roh Kudus berbicara, “Pacar kamu mengelola keuangan lebih baik dari kamu.”
Diieeennkkk …
Saya tau masalahnya bukan di bahasa Rohnya, tapi Tuhan tau apa motivasi saya di balik perkataan itu. Tuhan tau secara tidak sadar saya menganggap karena saya bisa bahasa Roh, saya lebih kudus en lebih rohani daripada pacar saya. Makanya Tuhan ingatkan. Kamu bisa bahasa Roh, tapi kamu tau … pacarmu lebih baik bertanggung jawab dan bisa dipercaya dalam hal keuangan. En saya diem, karena saya tau … salah satu pertanda kedewasaan rohani adalah dari cara pengelolaan uang. Kalau seseorang tidak bisa dipercaya dalam hal Mamon, sekalipun karunia bejibun, dia belon dewasa rohani. Seolah-olah Tuhan ingatkan, kamu tidak usah menghakimi kerohanian pacarmu. Urusi karaktermu sendiri.
Demikian juga soal keluarga. Pada mulanya saya mengalami kesulitan ketika harus berhubungan dengan keluarga pacar saya. Tadinya saya mengeluh, “Duh Tuhan, temen-temen papa mama begitu banyak. Tante-tante dan Oom-oom yang sayang sama saya juga bejibun *DDOOHHH … sombongnaaaa* kenapa ngga dikasih calon mertua salah satu dari antara mereka aja??”
But sekarang saya tau, malah saya bersyukur dengan keadaan keluarga pacar saya. kenapa? Karena dengan mereka, saya benar-benar tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Saya sudah terlalu sering ‘dipuji’ dan dibanggakan, “Waahh hebatnya masih muda sudah nulis buku.”, “Buku kamu bagus loh …”, “Wah sekarang jadi guru mandarin yah … ckckck. Hebat ya.” Lah ortu pacar saya mandarinnya lebih cas cis cus daripada saya! Mereka bertaon-taon sekolah mandarin! Mana berani saya menyombongkan diri!! :p Lewat perbedaan-perbedaan pun itu juga kesempatan saya belajar merendahkan diri dan mengasihi orang lain.
Demikian juga dengan hubungan kami yang LDR alias long distance relationship. Asli guys, menurut saya itu kondisi yang ‘sangat tidak ideal’ untuk menjalin suatu hubungan. Gimana bisa kenal kalo cuman lewat LDR? Ketemu 1 tahon cuman 4 kali sesuai dengan jatah bebas fiskal … kok bisa loe memutuskan utk menikah ama orang ini? Tapi aneh guys … bener-bener aneh. Banyak orang mengeluh LDR itu berat dan sulit. Tapi saya ngga merasa seperti itu. Bener. Yah kadang ada saatnya kangen berat, pengen ketemu, komunikasi terbatas, tapi anehnya itu ngga ‘seberat’ yang saya pikir.
Melewati semua hal yang ‘tidak sesuai dengan type saya’, membuat saya sadar 1 hal. Seringkali kita memilih sesuatu yang sesuai dengan type saya karena itu sesuatu yang enak, dan tidak perlu keluar dari zona nyaman. Tapi seringkali pertumbuhan kita di zona nyaman tidak secepat pertumbuhan kita di tempat yang ‘bukan type gue’. Justru di tempat-tempat, kondisi-kondisi yang ‘not my type at all’, Tuhan sedang mengerjakan banyak hal yang luar biasa dalam karakter-karakter kita.
Ketika Tuhan mengizinkan kita mendapatkan sesuatu yang ‘sama sekali bukan type gue’, baik itu pekerjaan, jodoh, tempat tinggal, rekan kerja, boss, client, murid2, ingatlah … Tuhan TIDAK PUNYA NIAT JAHAT. Sebaliknya, Tuhan ingin kita bertumbuh.
Ada kalanya, Tuhan memberikan yang sesuai dengan permintaan kita, kalau itu terjadi, bersyukurlah.
Ada kalanya, Tuhan memberikan yang sangat tidak sesuai dengan permintaan kita, kalau itu terjadi, bersyukurlah.
Kuncinya bukan apakah kita mendapat yang sesuai dengan permintaan kita atau tidak. Tapi kuncinya adalah bahwa apapun yang Tuhan berikan, baik yang sesuai maupun tidak, itu selalu untuk maksud yang baik, supaya kita makin bertumbuh serupa dengan-Nya. Amen …
Jakarta, 15 Desember 2008
*pssstt guys … jangan bête yah … kalo ntar tulisan-tulisan saya banyak yg menyerempet ke masalah persiapan pernikahan. :) En mohon doa restu juga. Hohoho.*