Ya... terkadang aku merasa hidup ini sungguh tidaklah adil.
Orang-orang di sekitarku, begitu mudah mendapatkan impian dan hal-hal yang aku dambakan dalam hidupku. Komputer, jalan-jalan ke luar kota, les bahasa, dan kuliah. Tapi entah mengapa, untuk mendapatkan hal yang begitu mudahnya sekitar kudapatkan, aku harus menguras otak dan tenagaku, bertahun-tahun, untuk mendapatkan satu dari impian tsb. hanya satu, tidaklah lebih.
Aku adalah anak yang ditinggal pergi orangtua, dan diurus oleh nenekku, setelah nenekku meninggal, dan aku lulus sekolah kejuruan setingkat SMA, tidak ada satu pun saudara dan keluarga besarku yang bertanya apakah aku masih ingin melanjutkan pendidikan, apakah aku ingin kuliah? Seolah-olah keluarga besarku membisu, dan mereka hanya menyuruh aku menabung untuk kuliah, sedangkan mereka sendiri sadar, bahwa aku ini sebesar anak-anak mereka, anak yang lulusan SMA hanya mendapat gaji tidaklah lebih dan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Ketika aku mengungkapkan aku ingin kuliah, pihak saudaraku hanya berkata, uang peninggalan nenekku hanya cukup untuk membiayai kakak laki²ku kuliah, karena dia laki-laki, dia lebih membutuhkan posisi tinggi. Ya... aku ini perempuan, yang menurut mereka aku akan dibawa dan ditanggung oleh suami. Dalam hati kecilku aku berkata, apakah ini adil? Apakah mereka ingin aku bergantung kepada suami? Yang belum jelas apakah nanti aku bersuami atau tidak? Mengapa mereka memandang hal ini kecil? Mereka menyuruh aku menabung? Sementara mereka sadar anak-anaknya yang seumuran aku saja tidak mampu berdiri sendiri, apa salahnya mereka membantu aku? Mereka yang memiliki rumah milyaran rupiah, memiliki mobil untuk gengsi anaknya bersekolah, membelikan ruko ratusan juta untuk anaknya berusaha, mengapa tidak sedikit saja membantu aku? Oh ya... aku bukanlah anak mereka. Aku lupa itu. Aku harus sadar diri, dan tidak boleh egois. Akhirnya aku yang awalnya bersemangat menundukkan kepala mengemis dan berpendapat ingin dikuliahkan, mendapat jawaban yang membuat hati ini sungguh menjerit, bersedih, dan menjeriiittt sesakitnya hati ini. Aku pun merelakan kakakku kuliah, dan aku mulai berkerja di perusahaan biasa yang mau menerima anak lulusan SMA. Aku pun sedikit demi sedikit menabung, keluargaku melihat aku boros, karena belanja ke supermarket, terkadang aku ingin tertawa, kalau aku tidak belanja bahan makanan yg menurut mereka boros itu, apakah aku bisa hidup? Anak-anak mereka yang mereka pandang tidak boros, ya... karena mereka tercukupi, sedangkan aku harus mengurus diriku sendiri di umurku yang belia ini. Aku menabung sedikit demi sedikit, di tengah-tengah aku menabung, aku seperti disambar petir, kakak laki²ku berhenti kuliah dengan alasan malas, ingin bekerja.
“YA TUHAN…” hanya ini kata-kata yang bisa aku ungkapkan, Tuhan. Aku ingin kuliah, aku harus menabung, memakan makanan instan, kalengan, agar bisa mengumpulkan uang, tapi kakakku yang begitu mudah mendapatkan impianku, malah membuangnya sia-sia. Aku pun buru-buru minta dikuliahkan, karena menurut aku ini kesempatan aku, ternyata jawaban keluargaku hanya satu. “Uang peninggalan nenekku sudah terpakai untuk membiayai kakakku semua. Walaupun ada sedikit hanya cukup untuk membiayai uang listrik rumah tiap bulan berjangka. Uang pangkal sangat mahal, dan tidak cukup lagi membiayai aku”. Aku hanya bisa menangis, bahkan saat aku menulis kata-kata ini sekarang pun menangis. Aku hanya bisa mengucap, “Ya Tuhan, apakah ini keluargaku?” Apakah impianku sirna hanya karena ungkapan mereka? Tidak... tidak boleh. Aku harus maju, karena aku berjanji sebelum nenek aku meninggal, di antara ketiga cucu yang dirawat nenekku, 2 kakak laki-lakiku sangatlah sulit diandalkan menurut nenekku. Nenekku hanya berharap aku cucu perempuannya yang sukses. Ya... hanya berharap aku bisa mengharumkan nama nenekku, dan aku pun berjanji kepada nenekku sebelum dia meninggal bahwa aku, aku akan membuat seluruh dunia mengetahui bahwa nenekku adalah wanita terhebat yang bisa membesarkan aku. Wanita yang sudah tua, tapi masih memiliki kehebatan dalam mendidik aku. Dari situ aku selalu merasa, aku harus rajin, dulu aku tidaklah pandai, sepandai kakak laki²ku, prestasiku tidaklah cemerlang, tapi semenjak aku berjanji itu, aku tekun dan giat, aku lebih lama 3 jam belajar daripada teman-temanku. Aku selalu berdoa, “Tuhan, berikanlah aku kepintaran. Aku memiliki impian.” Puji Tuhan, Tuhan memberikan aku prestasi di sekolah. Tapi tidak disangka, prestasiku hanya diperbolehkan mencapai taraf SMA. Tidak lebih... aku merasa.
“Tuhan, aku tidaklah bodoh, aku tidak malas, aku memiliki cita-cita. Megapa aku tidak bisa kuliah?”
Kenapa justru uang menjadi pembatas? Kenapa anak-anak yang tidak mengharapkan hal yang aku impikan malah yang mendapatnya.
Aku terus berkeluh kesah, dan aku merasa, aku harus berusaha sendiri.
Aku kerja, selama 2 tahun, pergi pagi, pulang jam setengah 11 malam di kantorku, Sabtu-Minggu aku masuk, pekerjaan yang ada aku ambil, selama itu masih halal, aku tidak ingin menjual diriku ke dunia malam, karena jika aku mendapat impianku dengan cara itu, itu malah akan membuat mendiang nenekku sedih. Aku masih memiliki prinsip yang harus dikeraskan dalam hidupku yang lebih keras ini. Ya... selama 2 tahun aku berhasil mengumpulkan uang 10 juta lebih, cukup untuk uang pangkal.
Tapi tidak disangka-sangka, aku mengalami sakit, selama sebulan badan ini tidak menentu, dan akhirnya aku dipaksa periksa ke dokter, dan dokter memvonis aku kanker usus, aku yang kaget mendengarnya cuma bisa berjalan di jalan raya dan menangis sekencang-kencangnya. Aku meringkuk di tanah, aku menangis di depan sahabat baikku, aku hanya berkata “KENAPA? KENAPA TUHAN TIDAK ADIL? AKU BERSUSAH PAYAH MENGUMPULKAN UANG ITU UNTUK KULIAH! KENAPA JADINYA BEROBAT?”
Aku ditaruh dalam dua pilihan, “nyawa atau cita-cita?”
Dengan hati sedih aku ke gereja, aku yang lelah ini. Sungguh kelelahan aku menjerit dan menangis di gereja. Cobaan apalagi? Apakah aku kurang bersabar Tuhan? Aku sudah merelakan aku tidak kuliah demi kakakku yang menyia-nyiakan itu, aku berusaha sendiri, tapi mengapa dan mengapa?
Akhirnya aku pun berobat ke dokter yang berbeda. 3 dokter aku mencari pencerahan, dengan hati lelah. Akhirnya ada sedikit harapan, dokter ketiga mengatakan tidak perlu melakukan operasi, karena baru radang. Aku bisa sembuh, tapi aku tidak boleh bekerja selama 2 bulan. 2 bulan? Waktu yang membuat aku menderita karena tidak memiliki penghasilan. Akhirnya aku menyerah, dan menarik seluruh tabungan rencana pendidikanku, sekali berobat sudah menghabiskan uang sebesar 600 ribu rupiah, dan memang pedih, 10 juta itu habis dalam waktu 2 bulan berobat.
Di sini aku merasa, apa yang harus aku capai sekarang? Pendidikan? Aku mulai dari awal lagi? Mau sampai kapan? Api harapan aku pun surut. Aku menjalani hidup dengan apa adanya, pasrah. Entah nanti aku kuliah atau tidak. Aku pasrah. Aku berpikir, hidup manusia singkat, mengejar cita-cita setinggi langit, tapi terasa berat. Berat ketika aku memakai tenaga dari tubuhku yang kecil ini.
Aku pun menjalani hidup apa adanya, tidak menabung segiat dulu, tidak bekerja sekeras dulu.
Sekelilingku merasa aku payah, tapi justru semenjak aku sakit dan kehabisan tabunganku inilah, aku mulai melihat titik terang. Hidupku damai, tidak merasa kesakitan, Tuhan mengajari aku untuk berpasrah. Aku percaya, ketika aku berusaha sekeras apapun, jika Tuhan tidak berkenan, maka berkat itu tidak akan ada di tangan ku. Tapi Tuhan memberikan berkat kepada orang yang berkenan pada-Nya, bukan orang yang bekerja keras, seperti dikisahkan Maria dan Marta, yang satu mendengarkan firman Tuhan, yang satu sibuk mempersiapkan jamuan untuk Tuhan, sedangkan yang sibuk berkeluh kesah, tapi Tuhan menegur bahwa Ia lebih berkenan kepada pendengar ajaran Allah. Bahkan burung-burung di udara dipelihara, kenapa aku harus cemas? Tuhan memang mengatakan ketuklah maka pintu akan dibukakan, mintalah maka akan diberikan, mengetuk berarti berusaha, meminta berarti memohon kepada Tuhan. Berusaha, memohon, dan berharap. Bekerja keras belum tentu berusaha, tapi berusaha sesuatu hal yang berkenan, hal sungguh-sungguh berkenan kepada Allah, apakah itu? Ya, menerima Tuhan, menerapkan firman dalam jalan hidup ini, dan menyayangi diriku sebagai ciptaan Tuhan. Tuhan pasti selama bersedih karena melihat aku menyiksa tubuh ini, hanya untuk kepentingan dagingku, kepentingan diakui prestasiku, kepentingan gaji besar dan menjadi orang “kaya” kaya harta sesaat, tetapi aku sadar, bukan itu yang Tuhan kehendaki buat aku, ‘kaya pengalaman, kaya iman’ itulah yang Tuhan inginkan dari diriku yang mungil ini.
Setelah aku menerima Tuhan, sebagai sandaran hidupku, aku merasa hidup ini bukanlah adil atau tidak. Tetapi hidup ini lebih berarti dan indah. Tuhan memberikan aku kebebasan seperti burung di udara, untuk melihat dunia yang indah, tanpa terikat sesuatu yang menjeratku ke kelelahan. Mungkin impianku sebagai manusia, tetap seperti kobaran api, tapi api yang ada sekarang adalah api yang sudah dipulihkan, api yang hangat, yang tidak membakar diriku sendiri.
Sudah 3 tahun aku bekerja, dan tiba-tiba saja berkat Tuhan selalu ada, di tengah kesulitan ekonomi, Tuhan membiarkan aku berjalan ke tempat yang aku impi-impikan, Tuhan membukakan jalan, dimana aku ingin membeli komputer dengan gaji seadanya, tiba-tiba saja ada yang menjual dengan harga yang sangat sesuai dengan gajiku, dan menjadi berkat, karena dengan adanya komputer ini, aku bisa menulis banyak karya pujian untuk Bapaku di Surga. Satu persatu impian dan hal-hal yang aku inginkan dikabulkan Tuhan dan aku malah diberikan hal yang sangat sangat sangat berlimpah indah, lebih indah, lebih lebih dari yang aku ‘manusia’ inginkan.
Pemberian Tuhan sungguh indah pada waktunya.