Siang di Jakarta hampir selalu menyengat. Aku biasanya malas sekali keluar rumah. Tapi hari itu aku ada janji dengan suamiku untuk nonton bareng. Yah, beginilah hiburan orang kota. Maklum, tak ada pemandangan alam yang cukup indah dinikmati. Jadi, harus puas dengan hiburan di layar lebar saja.
Dan siang itu aku naik metromini untuk menuju halte TransJakarta terdekat.
Sesampainya di belokan tak jauh dari halte yang kutuju, aku melompat keluar dari bus oranye itu. Hup! Segera kulangkahkan kakiku menyusuri lantai berwarna keperakan itu yang mengarah ke tempat penjualan tiket. Di ujung jalan menanjak menuju halte, sekilas kulihat seorang bapak tua berbaju lusuh, duduk bersila di situ. Rambutnya yang berwarna abu-abu, semakin menambah kelusuhan penampilannya. Di dekat kakinya kulihat sebuah kaleng tempat orang menaruh uang kecil untuk diberikan kepadanya. Uh, orang seperti itu bejibun di Jakarta ini. Jadi, jangan sampai terkecoh. Aku melenggang santai tanpa memperhatikannya lagi. Melupakan bahwa dia ada di situ.
Dan aku benar-benar lupa.
Tapi entah kenapa tiba-tiba saja belakangan ini aku jadi teringat padanya. Tidak, aku tidak bertemu dengan lelaki tua itu lagi. Tapi beberapa hari ini aku berpikir tentang siapa sih sebenarnya manusia itu. Manusia itu bukan cuma aku dan teman-temanku. Bukan cuma aku dan orang tuaku. Bukan cuma aku dan orang-orang yang kutemui di gedung bioskop yang dingin ber-AC dan wangi itu. Hey, bapak tua yang lusuh itu juga manusia!
Pertanyaan yang menggedor hatiku adalah: Apakah aku sudah memperlakukan dia layaknya manusia? Ternyata tidak, Saudara-saudara.
Menyedihkan ya? Seorang penulis di situs rohani nyatanya tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bersikap cuek terhadap orang seperti itu. Memang harus diakui, aku sendiri bingung mesti bagaimana jika berhadapan dengan orang-orang seperti itu. Jika kita mau benar-benar bersentuhan dengan orang-orang miskin, kita harus mau repot. Tidak cukup jika kita hanya memberi uang receh sisa kembalian dari supermarket.
Mau tak mau harus kuakui aku sering menganggap tak ada orang-orang itu. Menganggap sebelah mata. Kalau mau jujur, hal itu kulakukan karena aku tak ingin terganggu. Tak mau tahu. Masa bodoh. Dan memang rumit jika kita hendak mengurusi orang-orang macam itu. Aku juga bukan orang kaya yang bisa memberikan santunan. Aku juga bukan orang pemerintahan di dinas sosial yang memang sehari-sehari mengurusi orang miskin. Aku bukan pula orang LSM atau yayasan yang mengurusi orang miskin kota.
Akan tetapi, bagiku yang lebih mengenaskan adalah sikapku yang masa bodoh itu. Sikap menganggap mereka tak ada padahal jelas-jelas mereka ada dan mereka juga manusia. Dalam pikiran bodoh saja, pemikiran bahwa mereka manusia berarti mereka juga tidak suka diremehkan, mereka punya perasaan, mereka punya hati. Bolehlah orang-orang mengatakan bahwa mereka malas. Tetapi kita sendiri justru semakin mempertegas kenyataan itu dengan sikap kita yang tidak menganggap mereka ada.
Mungkin yang bisa dibenahi adalah sikap hati kita sendiri--eh, aku ding tepatnya. Setidaknya jika aku memberikan uang kecil, aku memberikannya dengan hati. Atau yang paling sederhana aku bisa memberikan senyum tulus, mendoakannya. Ya mungkin itu tindakan kecil, tapi setidaknya tidak bersikap masa bodoh bisa melatih kepekaanku.