Sabtu Malam 19 Februari
Aku sudah berniat untuk misa di Klender besok pagi pukul 08.00. Itu berarti aku harus bangun pagi–tidak molor seperti selama beberapa hari ini. Perjalanan dari rumah ke Klender memakan waktu kira-kira 30 menit. Itu plus jalan kaki dan menunggu angkot.
Tapi aku tidur lebih larut dari biasa.
Pukul 00.00 aku belum tidur dan belum merasa mengantuk. Gawat! Bisa terlambat bangun, nih. Kupasang alarm pukul 06.00. Kumatikan lampu.
Minggu Pagi 20 Februari
Aku terbangun tepat pukul 06.00 saat alarm berbunyi. Rencananya, aku langsung mandi, sarapan roti tawar, lalu berangkat.
Tapi buyar! Suamiku bangun dengan suara serak. Dia radang tenggorokan. Dia tak bisa ikut misa dan jelas aku tak bisa pergi begitu saja tanpa memasak untuknya terlebih dahulu.
Okelah. Kupikir waktu masih cukup. Aku mau masak sayur bening saja. Yang gampang dan cepat saja. Tetapi menjelang pukul 07.00 aku baru selesai masak. Bisa terlambat nih!
Selesai masak, aku buru-buru mandi. Lalu aku makan roti, karena tak mungkin aku tak mengganjal perut sebelum berangkat. Bisa melilit dan kambuh maag-ku. Aku berusaha makan agak cepat.
Pukul 7.20 aku tergesa-gesa berangkat. Aku tak ingin terlambat misa. Apalagi aku janjian dengan temanku, Joanna. Tak enak rasanya membuatnya menungggu. Lagi pula, sebenarnya lebih enak datang ke gereja lebih awal, saat belum terlalu ramai. (Tapi biasanya aku toh tak bisa datang lebih awal. Adaaaa saja yang membuatku molor. Masih bodoh nih dalam mengatur waktu.)
Aku pikir aku akan naik taksi atau bajaj saja ke Klender. Kutunggu sebentar, tapi tak ada taksi yang lewat. Aku bergegas berjalan ke perempatan untuk mencari angkot 25. Ah, benar-benar pagi yang kacau, pikirku.
Tak lama kemudian angkot 25 pun tiba. Aku berharap angkot ini tidak sering ngetem dan tak lelet jalannya.
Aku langsung naik. Hup! Sesampainya di dalam angkot aku langsung disambut oleh bau yang kurang enak. Duh! Rupanya ada seorang nenek-nenek kurus yang membawa sekresek besar gelas-gelas plastik air minum mineral. Oh, tidak itu saja. Ia juga membawa satu karung besar. Kurasa isinya serupa. Baunya memang tidak menyengat. Tapi lumayan lah membuatku yang berhidung sensitif untuk lebih memilih menghirup udara di luar. Pastilah gelas-gelas plastik itu yang menimbulkan bau tak enak karena tentu tidak (sempat) dicuci bersih setelah diambil dari tempat sampah. Aku sekilas sempat melihat gelas-gelas itu agak kotor.
Ketika sudah setengah jalan, nenek itu turun. Dia menyeret kresek besarnya itu keluar angkot. Masih tersisa karung besar di dalam angkot. Si nenek membayar angkot dengan uang dua ribuan. “Kembali seribu!” katanya pada sopir angkot. He? Dia minta kembalian? Nenek itu naik lebih dulu dari aku, jadi kurasa selembar dua ribuan memang layak untuk dibayarkan. Apalagi dia membawa barang banyak sekali. Jatah kursi untuk orang lain pasti berkurang dong! Tapi aku lalu takjub ketika bapak sopir membeli kembalian, tanpa mengomel! Padahal biasanya, para sopir angkot suka memaksa penumpangnya berdesak-desakan agar mobilnya bisa memuat banyak orang–sehingga dia bisa mendapatkan banyak uang. Aku terpana menyaksikan kemurahan hati sang sopir.
Kemurahan hati berikutnya aku lihat dari orang yang duduk di depanku. Tanpa canggung dia membantu menurunkan satu karung besar milik si nenek. Kurasa dia juga bisa mencium aroma yang kurang sedap dari kantong kresek dan karung itu. Tetapi dia tanpa segan membantu menurunkannya. Dia tak memikirkan bau atau kotoran yang mungkin akan menempel di tangannya. Olala… Aku malu.
Pelajaran tentang kemurahan hati itu tak berhenti sampai di situ. Setelah menurunkan sang nenek, angkot berjalan lagi. Namun, tak berapa lama, angkot itu berhenti. Duh, ngetem! Aku khawatir aku benar-benar terlambat datang ke gereja. Di kejauhan kulihat dua ibu-ibu yang sudah tua akan menyeberang. Di depan ibu-ibu itu ada seorang remaja laki-laki. Model anak alay gitu deh. Bercelana model pensil yang ketat dan rambut jabrik. Pasti dia cucu atau keponakan ibu-ibu tua itu. Kulihat ibu-ibu itu agak kesulitan menyeberang karena ada metromini lewat dan jalan mulai ramai. Pemuda tanggung itu menyeberang bersama mereka. Dan tak lama ibu-ibu itu naik ke dalam angkot. Loh, tapi di mana remaja tadi? Ya, ampun! Ternyata dia sudah kembali ke seberang jalan. Bocah alay tadi hanya membantu menyeberang dua ibu-ibu tua yang kini sudah duduk di depanku.
Pagi itu aku menyaksikan kemurahan hati orang-orang biasa yang tak kukenal. Aku yakin, semua itu terjadi karena belas kasih Tuhan menyentuh mereka masing-masing, sehingga mereka bisa bermurah hati kepada orang lain. Dan perbuatan baik mereka menyentuhku.
Aku malu pada diriku sendiri. Tetapi aku juga bersyukur, Tuhan mengajarkan kemurahan hati kepadaku di pagi hari saat aku tergesa-gesa menuju rumah-Nya. Di sela waktu yang sempit, Tuhan memberikan pelajaran berharga bahwa kasih Tuhan itu begitu melimpah, dan kita sebenarnya selalu mampu untuk berbuat baik.
Pelajaran lain yang kupetik adalah, jika kita mau membuka hati, kita akan bisa merasakan serta menyadari betapa Tuhan sudah memberikan kasih yang begitu melimpah. Kasih itulah yang memampukan kita untuk mengasihi sesama.
Tuhan, terima kasih atas pelajaran kemurahan hati yang Kauberikan kepadaku. Walaupun aku sedang tergesa-gesa, Kau masih menyisipkan pelajaran penting kepadaku. Tuhan, bantulah aku untuk selalu menyadari kebesaran kasih-Mu. Dan bantulah aku untuk membuka diri sehingga kasih-Mu yang begitu besar itu bisa tersalurkan kepada banyak orang. Bantulah aku untuk menghancurkan kesombongan hati sehingga nantinya hanya nama-Mu yang dimuliakan. Amin.