Tempayan yang Retak
Hal itu berjalan setiap hari, selama dua tahun. Hal itu membuat tempayan yang tidak retak itu merasa bangga dengan prestasi yang dibuatnya. Namun tempayan yang retak itu merasa malu dan sedih sekali dengan ketidak sempurnaannya sebab ia hanya bisa membawa setengah dari porsi yang seharusnya dapat ia lakukan.
Suatu hari, tempayan yang retak itu berbicara kepada bapak tua itu dengan nada sedih, "Bapak tua, aku sangat malu dengan diriku karena selama dua tahun ini, aku hanya dapat membawa setengah dari porsi yang seharusnya aku bawa."
Si bapak tua itu merasa kasihan kepada tempayan yang retak itu dan berkata, "Besok ketika kita membawa air seperti biasa coba perhatikan di sisi sebelah kananmu, di situ terhampar bunga-bunga yang indah, yang mungkin dapat menghiburmu."
Benar, ketika dalam perjalanan mereka pagi itu, tempayan yang retak itu memperhatikan bunga-bunga yang indah dan ia sedikit terhibur. Tetapi ketika ia melihat air yang menetes dari dirinya, ia kembali sedih, dan meminta maaf kepada bapak tua itu.
Kemudian bapak tua itu berkatanya, "Tidakkah engkau memperhatikan bahwa bunga-bunga itu hanya ada di sisi kananmu saja, tidak ada di sisi yang lain? Itu karena aku sengaja menaburkan bibit-bibit bunga di sebelah kananku, sehingga engkau bisa menyirami bunga-bunga itu dan sekarang aku bisa memetik bunga itu untuk menghiasi rumah majikan. Tanpamu, majikan kita tidak bisa menghias rumahnya seindah sekarang."
Setiap kita adalah tempayan yang retak, karena kita punya cacat dan kelemahan. Tetapi Tuhan memakai kita yang cacat ini untuk pelayanan bagi-Nya. Oleh sebab itu kita harus melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati dan ungkapan syukur.
Jakarta, 28 Februari 2003
Pancha W Yahya
Komentar-komentar |
|