Sekolah Gratis, Sebuah Utopia Dalam Sistem yang Tidak Mendukung
Mungkin saya terlambat menulis soal sekolah gratis ini. Kabarnya sudah lama beredar. Iklannya sudah ditarik dari peredarannya. Kritik dan saran juga sudah bertebaran di sana-sini.
Bagi saya sendiri wacana sekolah gratis ini membuat senang, kesal, sekaligus sedih. Senang ketika mendengar bahwa sekolah sepertinya mulai dipikirkan dengan lebih baik. Indikasinya ya sederhana, menjadi gratis dan itu berarti semua orang berusaha agar sekolah menjadi lebih baik. Kesal karena ternyata kejadian di lapangan tidak sesederhana yang saya bayangkan. Sedih karena pada akhirnya saya mendapati kalau pendidikan sepertinya tetap menjadi sesuatu yang dilihat sambil lalu atau bahkan tidak perlu—ini dugaan pesimis saya saja.
Ketika datang ke sekolah-sekolah yang kebetulan menjadi mitra tempat kerja saya, kabar sekolah gratis ditanggapi dengan macam-macam, tapi saya menarik benang merah di bawah ini. Konteksnya adalah sekolah di pedesaan:
- Wah kalau sekolah gratis kita-kita yang swasta bisa tutup Mas, dari mana kami dapat uang?
- Keuangan sekolah bisa kacau!
- Darimana kami menggaji Guru honorer?
- Tidak cukup dana dari pemerintah untuk operasional sekolah.
- Untuk komputer mana? Untuk alat peraga mana?
- Seragam mana? Cat kursi mana?
- Wah Mas sekarang gak bisa ambil untung dari seragam atau buku, kalau dulu kan sedikit-sedikit bisa.
- Ini untuk pengembangan kreatifitas tidak bisa, darimana dananya?
- Wah jamannya berubah ini Mas, sekolah jadi sulit cari dana. Orang tua tahunya sekolah gratis, kalau narik apa-apa tidak bisa sama sekali. Mereka pokoknya beranggapan sekolah itu tidak ada biaya sama sekali
- Bagaimana nanti untuk biaya rapat, biaya perawatan sekolah, biaya perjalanan, biaya ikut lomba...dan biaya-biaya lainya?
- Orang tua pusing Mas, soalnya sekarang semua peralatan sekolah beli sendiri, saya yang punya anak sekolah, juga pusing. Kalau dulu dikelola sekolah kan sedikit-sedikit bisa ada korting dan kita guru bisa ambil untung. Wah jyaaan...pusing
- BOS itu bagaimana ya mas, ini sekolah sudah jalan tiga bulan belum keluar juga uangnya, ini kita pakai gaji guru dulu untuk operasional...sama hutang sana-sini
- Baguslah sekolah gratis, tapi ya lihat-lihatlah...ini semua jadi kayak dipangkas, gak ada yang untung. Orangtua pusing sekolah bingung.
- Dah Mas sekolah itu tutup saja, pusing kita, gaji gak seberapa tuntutan banyak, yang negeri senang Mas, gaji naik, yang swasta ini..bagaimana coba?
Masih banyak komentar-komentar yang bermunculan. Pada dasarnya mereka bingung untuk apa sekolah digratiskan. Alasannya sederhana juga: membuat pusing—karena sulit korupsi, sulit mencari untung, memang benar-benar membingungkan, tambahan administrasi, dan banyak lagi keluhan. Memang ada sekolah-sekolah yang bisa menggratiskan anak-anak dari berbagai biaya. Mereka tetap menjalankan fungsi sekolah seperti biasa. Tapi apa adanya dan sekedarnya. Di sisi lain, bagi sekolah yang tak bisa menggratiskan diri, untuk mengganti kata SPP, tiba-tiba muncul tarikan-tarikan dana seperti: iuran pramuka, iuran komite, iuran study banding, iuran LKS, Praktikum, Les Inggris dan sebagainya. Kalau dihitung-hitung bianyanya menjadi lebih mahal dari sebelum ada sekolah gratis. Jadi ide sekolah gratis dalam konteks ini benar-benar tidak terlaskana. Justru ide itu membuat sekolah memiliki kreatifitas dalam “menarik dana” sebanyak-banyaknya dari siswa dengan alasan agar bisa menciptakan sekolah bermutu dan subsidi dari pemerintah kurang.
Kabarnya sekarang ada juga model sekolah unggulan dan banyak sekolah kemudian mencoba menjadi sekolah unggulan tadi; karena katanya—kabar yang saya dapat sementara memang benar-benar kabar katanya—akan mendapatkan sokongan dana lebih besar dari pemerintah. Nah tetangga saya sekolah di salah satu sekolah yang dibilang unggulan tadi. Salah satu yang wajib katanya adalah anak-anak perlu memiliki laptop. Menurut tetangga saya itu, syarat penting menjadi sekolah unggulan adalah sekolah yang canggih dan karenanya anak-anak harus punya laptop—dan saya tiba-tiba jadi konsultan laptop bagi tetangga saya dalam kasus ini he..he....
Wah ini makin membuat saya bingung. Sistem apa ya yang sedang dibangun untuk pendidikan kita ini. Kalau memang sekolah mau gratis mengapa menimbulkan berbagai macam hal seperti di atas? Apa memang pemerintah dan sistemnya belum siap? Atau memang cuman untuk kepentingan sesaat? Soalnya bagaimanapun sekolah itu tetap perlu biaya. Nah padahal kata gratis dalam benak msayarakat adalah tidak ada biaya sama sekali alias nol. Bahkan kalau bisa mereka disubsidi beli buku, sepatu, dsb. yang jelas-jelas ini adalah instrumen biaya pendidikan.
Dari sisi lain, kalau memang pendidikan adalah upaya bersama untuk kemajuan bangsa, sebenarnya berbagai elemen bisa bekerjasama untuk membuat biaya pendidikan menjadi seringan mungkin. Misalnya saja, ada subsidi dari berbagai perusahaan untuk pendidikan atau penggunaan pajak yang benar untuk pendidikan. Atau juga memikirkan bagaimana memanfaatkan modal lingkungan untuk berbagai kegiatan belajar mengajar. Atau.....apa lagi ya? Soalnya saya mikir lagi, kalau kita sudah bekerja keras macam-macam dan memikirkan macam-macam, tapi sistemnya belum mendukung dan pengertian belajarnya hanya sebatas belajar di sekolah, masih repot juga kan? Lha nanti kita membuat berbagai kreatifitas ternyata dianggap keliru oleh sistem pendidikan sekarang yang sependek pengetahuan saya tidak partisipatif sama sekali bahkan cenderung militeristik.
Saya berharap menteri pendidikan mendatang memikirkan mimpi yang benar-benar bisa membuat sistem pendidikan kita bukan hanya utopia belaka.
Komentar-komentar |
|
|
|
|