Sekolah Menyenangkan Ribet Juga
Ternyata tulisan saya soal sekolah yang menyenangkan mendapat tanggapan lumayan luas dari teman-teman. Semua mengungkapkan bahwa menciptakan suasana belajar yang menyenangkan di sekolah formal dan menciptakan suasana belajar yang berkelanjutan amat diperlukan. Pada titik ini nampaknya tidak ada yang membantah. Masalah muncul ketika kemudian masuk ke langkah aplikasi, sebagian besar merasa: ribet, sulit, dan melelahkan.
“Bayangkan Mas, untuk mengajar kreatif itu saya perlu mikir, survey, trus nanti belum anak-anak jadi lebih ribut, masih mikir laporannya jadi simple tidak? Alat peraganya nanti bagaimana? Cara menilanya nanti bagaimana? Wah ribetlah. Saya itu ya tahu kalau belajar dengan senang itu penting, tapi mikir caranya itu susah banget Mas.”, begitu komentar seorang teman.
Saya merasakan kelelahan tersebut. Apalagi jika mengingat banyaknya beban administrasi guru, pengajar, atau dosen. Beban orangtua juga banyak, urusan perut benar-benar menguras energi, makanya kegiatan belajar anak-anak serahkan saja kepada sekolah formal. Apakah memang benar begitu adanya ya?
Setelah berusaha tanya sana-sini, jawaban seorang teman yang seorang Guru dan sangat kreatif dalam mengajar cukup mencerahkan saya.
“Wiji, kita itu memang serba repot ya, kita tahu belajar menyenangkan itu penting. Kita juga diharapkan untuk menciptakan kondisi tersebut. Cuma, masalahnya itu, kita dari dulu tidak pernah merasakan bagaimana belajar menyenangkan. Ya sulit, di pengalaman kita itu tidak ada, atau jarang. Isinya cuman belajar sebagai kewajiban. Harus inilah, harus beginilah, begitulah...Ngono Wij”
Saya mikir-mikir, benar juga kata teman saya ini. Sejak awal kita jarang sekali merasakan pengalaman belajar menyenangkan. Beberapa teman malah baru menemukannya ketika mereka ke luar negeri dan usianya sudah lumayan tua. Mungkin memang sejak awal sistem kita tidak diarahkan untuk menciptakan belajar menyenangkan tadi. Akhirnya segala macam aturan atau administrasi yang tercipta justru makin membelenggu para pengajar dan peserta didik.
Sekilas saya mikir—mungkin perlu ada penelitian mendalam mengenai hal ini—dulu jaman penjajahan orang sekolah itu suatu kebanggaan karena jarang yang bisa sekolah, jadi walaupun gurunya galak-galak dan katanya banyak hukuman fisik, semua dijalani dengan kebanggaan dan suatu harapan akan pekerjaan yang lebih baik. Di jaman kemerdekaan, eh semua orang bisa sekolah, tapi berusaha diseragamkan untuk kepentingan tertentu dan cenderung militeristik, jadi sekolah ya formalitas belaka. Sekolah jadinya cuma menghasilkan ketakutan, apalagi praktek-praktek kekerasan di jaman penjajahan berubah bentuk lebih otoriter. Bagaimana tidak otoriter, lha nasib murid amat tergantung pada Guru, padahal katanya pendidikan seharusnya memerdekakan seseorang untuk bisa merubah nasib. Eh, di jaman reformasi, semua berubah-ubah lagi. Tidak teratur karena arahnya meraba-raba. Mungkin memang ini waktu kita untuk berbenah. Tapi alangkah baiknya dalam berbenah, tidak ada generasi yang terkorbankan karena alasan, berbenah itu.
Jadi saya pikir teman saya itu benar, kita belum berpengalaman menciptakan belajar yang menyenangkan.
Maka mari kita berjuang untuk menciptakan berbagai pengalaman itu.
Komentar-komentar |
|
|
|
|