Televisi: Penghiburan, Pengetahuan, Musuh, atau...?
Saya bertemu seorang produser yang dulu pernah memproduksi sebuah sinetron yang cukup fenomenal di Indonesia. Saat ini dia mengaku bertobat dan ingin memberikan suatu pandangan lain kepada masyarakat mengenai televisi. Menurut dia, berdasarkan pengalamannya, semua setasiun televisi hanya memiliki satu ideologi: bagaimana menghasilkan uang. Sebagai akibatnya, begitu dia berkomentar, semua acara di televisi-televisi kita tidak ada yang bermutu dan hanya memikirkan persoalan uang saja. Dia bersama teman-teman kemudian berusaha membangun sebuah rumah produksi yang diharapkan bisa memberi warna yang lebih postif dan membangun. Intinya, bagi teman saya itu, televisi adalah pembodohan harian. Salah satu yang dia benci adalah acara musik di pagi hari, “Di mana coba Mas, ideologi dan moralnya, lha anak-anak pagi-pagi disuruh angkat-angkat tangan, mereka kan seharusnya sekolah, ini kok malah diajak hura-hura terus”
Saya sendiri merasa ngeri dengan kondisi televisi dan tontonan-tontonan di dalamnya. Alasan televisi untuk pendidikan dan pengetahuan hampir-hampir tidak saya percaya lagi. Dari pagi sampai malam, acaranya lebih banyak hiburannya. Kalaupun ada acara ilmu pengetahuan, tidak mendalam dan sangat normatif. Tidak ada alsan ataupun pengulasan yang mendalam. Acara berita bagi saya bukan lagi berita tapi “pengarahan” emosi penonton. Emosi kita dicocok hidungnya dan diajak mengikuti apa maunya televisi. Begitulah kengerian saya.
Kira-kira seminggu lalu kami sedang dalam proses membuat sebuah film pendek. Film ini mempunyai harapan cukup berat. Menjadi tontonan alternatif yang mendidik untuk anak-anak dampingan di tempat kerja saya. Beberapa kru film sempat terhenyak-henyak melihat bagaimana gaya bahasa anak-anak sudah sangat sinetron sekali. Sudah sangat Jakarta dan tidak menunjukan identitas. Menurut kru-kru itu, ekspresi anak-anak bukan ekspresi murni tapi ekspresi meniru gaya sinetron. Mungkin kru-kru itu baru terkena gegar budaya saja, tapi saya melihat keterkejutan mereka amat wajar. Mainan, bacaan anak-anak, bahkan jajanan anak-anak hampir semua berbau sinetron. Kita bisa lihat bungkus makanan kecil adalah foto para pesohor, sampul buku juga begitu, majalah lokal yang dikeluarkan dinas atau mitra mereka untuk anak-anak juga memuat soal sinetron. Di sekolah guru-guru menggosip juga soal artis dan sinetron yang mereka tonton. Dan ini yang menurut saya cukup meresahkan juga, banyak di antara mereka menganggap apa yang diperlihatkan di dalam sinetron merupakan kebenaran.
Kekuatan TV merubah jadwal kehidupan dan daftar belanja juga sangat ampuh. Ibu-ibu bisa merelakan kegiatan posyandu digeser demi sebuah sinetron. Sampah plastik di kampung-kampung nampaknya memperlihatkan pola konsumsi yang sepadan dengan apa yang diiklankan di televisi. Jajanan untuk “menyuguh” tamu sudah sangat berubah. Dalam kasus di kampung di mana kami membuat film tadi, kami hampir tidak pernah mendapati ketela rebus sebagai suguhan. Padahal di sana banyak. Tapi nampaknya mereka berpikir orang kota butuh makanan berplastik atau berkaleng buatan pabrik. Mungkin harapan kami saja yang terlalu berlebihan pada apa yang bernama desa.
Akhirnya saya sering menjumpai fenomena ini: televisi dibiarkan hidup walau tidak ditonton. Beberapa tahun lalu saya pernah menulis ditonton oleh tv karena kita ketiduran di depannya. Tapi sekarang fenomenanya tv dihidupkan dan dibiarkan tidak ditonton sebagai teman. Supaya tidak sepi dunia ini. Supaya ada suara di rumah. Supaya ada yang diajak beraktivitas. Ungkapan terakhir ini saya masih bingung maksudnya, diungkapkan seorang ibu yang menganggap tv sama-sama beraktivitas dengan dia di rumah. Dia masak televisi beraktivitas menyiarkan acaranya.
Mungkin kita perlu mendefinisikan makna televisi bagi kita sendiri mengingat ideologi yang menyertainya sangat-sangat beragam dan seringkali berdasarkan pesanan serta menjajah kita.
Saya mengajak ini: berpuasa menonton televisi dan merenungkan akibatnya. Ada apa ya? Mari kita rasakan bersama.
Komentar-komentar |
|
|
|
|