Menyebalkan, saya merasa tidak memiliki ikatan apapun dengan kata kemerdekaan. Saya merasa hampa ketika tiba-tiba di bulan Agustus ini kata merdeka itu kembali sering diperdengarkan. Apakah saya benar-benar bisa merdeka? Itu yang tiba-tiba saya pikirkan ketika kembali mendengar kata: merdeka. Pengkotbah di Gereja meneriakkan kata merdeka berulang kali.
Tapi tetap saya berpikir: kita ini terjajah, di mana pun dan kapan pun. Mungkin karena pada dasarnya kita terjajah sejak kecil.
- Waktu SD banyak kasus penjajahan. Guru yang galak sehingga membuat takut. Pelajaran yang begitu banyak. PR yang menumpuk. Seragam yang membelenggu. Uang sekolah yang besar. Pelajaran hanya menghafal. Sulit menemukan rasa senang di sekolah. Bermain pun dibatasi.
- Waktu SMP dan SMA bertambah lagi kasusnya. Uang gedung membesar lagi. Kebutuhan gaya hidup mulai muncul. Guru tetap galak. Seragam masih ada. Kakak kelas mulai malak. Kehidupan remaja mulai menekan. PR lebih banyak lagi. Masa depan terlihat suram. Sekolah kok ya nganggur. Mau kuliah tidak ada uang.
- Banyak yang merasa masa mahasiswa adalah masa yang memerdekakan. Tapi banyak hal terlarang dipelajari. Pengenalan kepada sistem-sistem membuka pikiran kalau kita terjajah secara ekonomi. Menentukan hidup sendiri juga kesulitan. Tuntutan hidup makin besar. Ada lagi yang terjebak narkoba dan tindakan haram lainnya. Bahkan untuk bersenang-senang kita dituntun gaya hidup yang katanya membebaskan. Dosen-dosen ternyata banyak yang membosankan. Tembok kuliah serasa membosankan. Ternyata ancaman menganggur makin nampak nyata
- Bekerja lebih repot lagi. Atasan menekan. Teman menekan. Kebutuhan menghimpit. Istri atau suami menjajah. Anak menuntut. Saudara-saudara menekan. Eh kita tiba-tiba mendengar apapun yang kita lakukan ditentukan oleh negara yang lebih maju.
Mungkin semua terdengar melebih-lebihkan. Tapi pada kenyataannya menggunakan sabun pun kita diatur oleh iklan. Jam berkegiatan ditentukan oleh TV dan acaranya. Begitu keluar rumah kita sudah dibombardir iklan yang sangat sugestif sehingga tanpa sadar kita mengikutinya. Begitulah dalam dunia yang semakin global. Keputusan sekecil apapun sebenarnya dituntun kekuatan amat besar yang tersembunyi dan tak terkendali dan itu bukan Tuhan. Kekuatan ekonomi, kekuatan tata sosial, dan ketakutan kehancuran bumi. Semakin kita berlomba meningkatkan kesejahteraan semakin kita perlu menjajah orang lain. Supaya kita lebih sejahtera. Mungkin memang secara alamiah kita harus saling menjajah.
Ah mungkin saya berlebihan ya... tapi sejatinya kita perlu terus berpikir untuk terbebas dari penjajahan kebodohan dan kemalasan. Mungkin sekali karena kita ini bodoh dan malas, maka dijajah pun kita tidak terasa.