Sebuah catatan dalam kesendirian yang ramai yang mungkin hanya berlaku buat saya sendiri ....
Teman saya, seorang penulis, pernah berujar, “... yang aku senangi dari facebook adalah kenyataan bahwa aku tidak sendiri tapi dikelilingi banyak orang ketika bekerja di rumah”. Inilah salah satu alasan mengapa orang begitu senang ber-facebook-ria.
Orang-orang merasa mendapatkan teman. Mereka bisa bertemu dengan kawan lama, kawan baru, dan kawan sekarang secara bersamaan sekaligus dalam satu ruang. Mereka juga bisa berkomunikasi dan berinteraksi secara intens kapan pun dan dimana pun asal ada akses internet. Dari kemudahan akses dan kesempatan itu orang jadi terbuka pada suatu kemungkinan komunikasi dan penjelajahan ruang yang begitu luas. Tiada batas dan aturan pengikat dalam ruang jejaring sosial itu. Mau berpolah apa saja seolah bisa, mau telanjang kek, mau omong kasar kek, semua bisa dilakukan lewat jejaring sosial. Mau mencari kesenangan, banyak permainan dan tontonan menarik di jejaring sosial ini. Mau mencari informasi atau pengetahuan, dengan mudah kita bisa mendapatkannya. Sampai akhirnya secara ekstrem kita mendapati jejaring sosial ternyata turut berperan dalam penggulingan dan revolusi pemerintahan. Berbagai aliran informasi lewat jejaring sosial ikut mendukung berbagai gerakan revolusioner di muka bumi ini.
Sadar atau tidak sadar, kehidupan kita pada akhirnya terpengaruh secara drastis oleh proses berjejaring di dunia bernama internet. Cara kita berkomunikasi, memandang dunia, dan cara kita menentukan identitas lambat laun dipengaruhi oleh perkembangan jejaring sosial di internet. Keseharian kita pun akhirnya ikut ditentukan oleh pemakaian jejaring ini. Bolehlah kita bilang bahwa kita tinggal di hutan tanpa memiliki akun facebook misal, kemudian kita merasa aman-aman saja dan tidak memiliki masalah karenanya. Tapi hal ini terjadi ketika kita benar-benar tidak terkoneksi dengan orang lain. Begitu kita bergaul dengan masyarakat luas maka pandangan orang terhadap kita sangat mungkin sekali dipengaruhi oleh kepemilikan akun suatu jejaring sosial. Intinya kita bisa dipandang aneh atau tidak wajar ketika berujar: saya tidak punya facebook. Bahkan ketika kita merasa tetap tidak ada masalah sebenarnya di luar kita sudah menjadi masalah tersendiri karena dianggap tidak biasa. Tentu saja ada kompleksitas tersendiri dalam proses “pandang memandang” ini. Sederhananya, kepemilikan akun itu menentukan siapa “saya” di mata orang lain dan di mata diri sendiri.
Lebih konkrit lagi, jejaring itu memiliki kekuatan yang begitu besar sehingga mampu membentuk perilaku sehari-hari dan kepribadian kita. Contohnya: kalau kita makan bersama, dulu kita bisa saling ngobrol dengan santai dan nyaman. Saling berbagi rasa dan kehangatan. Sekarang, bisa jadi kita ada di satu meja tapi sibuk sendiri-sendiri dengan gadget kita. Bicara satu dengan yang lain tapi wajah menatap gadget. Perilaku kita berubah dan karakter kita tertutup atau lebih ekstrem lagi berubah ketika menghadapi orang lain. Tadinya kita pribadi yang ramah dan supel tapi begitu berkenalan dengan jejaring sosial atau internet kita bisa merubah karakter karena kebutuhan tertentu. Perlahan namun pasti karakter yang kita bentuk di dunia maya itu membuat kita selalu berstrategi untuk menonjolkannya. Perlahan namun pasti pula aktifitas kita di dunia maya membuat kita menyendiri dan tidak supel lagi.
Pada titik inilah teman saya yang lain berujar, “Wid, kita sebenarnya sedang menuju suatu kehidupan yang menyendiri, kita hidup sendiri-sendiri di tengah keramaian”. Kok bisa? begitu ujar saya. Bayangkan, dia berujar, kita semua terkoneksi dengan orang lain lewat internet tapi kita melakukan komunikasi tersebut sendirian di kamar. Kita mengadakan percakapan dengan orang lain lewat internet tapi pada saat bersamaan kita sendirian secara fisik di suatu ruang. Ini mengerikan, begitu kata dia.
Maka dari situlah penjelajahan saya mengenai dunia bernama sendirian dimulai. Perlahan namun pasti saya mulai menyadari bahwa internet ini ternyata menggerogoti kemanusiaan kita. Hal ini terjadi karena aktivitas kita berinternet perlahan namun pasti membuat perilaku kita berubah. Sebagai manusia yang utuh kita tentu diharapkan bertumbuh sesuai dengan nilai atau norma yang ideal dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya saja kita diharapkan bisa berkomunikasi dan bersosialisasi dengan baik, berbicara bertatap muka, menunjukkan empati, perhatian, senyum dan kehangatan. Perilaku itu menjadikan kita diterima dan dihargai. Dalam keseharian, kita dituntut untuk memiliki identitas dengan perilaku ideal tertentu pula. Kita beragama dan kita belajar untuk memenuhi berbagai tuntutan dalam agama tersebut agar bisa disebut: beragama. Sekolah ikut menentukan siapa kita dan bagaimana kita bertingkah, demikian juga kampung kita ikut menentukan siapa kita.
Semua contoh tadi menjadi bubar alias bubrah alias berantakan di dunia bernama internet. Berantakannya bukan karena pecah menjadi berkeping-keping tapi justru karena didorong menjadi seragam. Begitu berinteraksi dengan internet kita didorong untuk menjadi paham bahasa yang ada dalam internet yang dibangun untuk meleburkan keunikan menjadi keseragaman. Lihatlah semua menunjuk gambar jempol ke atas ketika merasa senang. Gaya foto juga semakin seragam: tertawa dengan mimik tertentu dan menunjukkan jari berbentuk huruf V atau tiga jari teracung. Sepertinya sepele tapi ada banyak penyeragaman di sana. Kalaupun ada berbagai variasi dan akomodasi keunikan nampaknya kita juga harus menelaah apakah keunikan itu dilakukan atas dasar orisinalitas, meniru, atau—ini yang cukup ngeri—dilakukan dengan satu sikap seragam bernama kemunafikan. Kok bisa?
Ketika kita memasuki dunia jaringan sosial mau tidak mau kita berusaha membangun image atau tampilan tertentu. Nah di sinilah kita memulai menyusun strategi beridentitas di dunia maya. Kita mulai membangun cara bagaimana kita berujar, memunculkan foto, menuliskan komentar, mencari teman dan banyak lagi. Kita ingin dilihat sebagai pribadi tertentu di dunia baru ini. Entah anda setuju atau tidak kita sedang menuju pribadi ganda. Proses menentukan image ini akan sangat berbeda dengan dunia nyata karena media dan prosesnya beda. Di dunia maya kita tidak bersentuhan dan tidak melihat sendiri orang yang sedang kita ajak berkomunikasi atau melihat profil kita. Artinya kita didorong untuk menunjukkan terus keberadaaan kita dengan keras supaya orang yang tidak melihat kita itu memiliki gambaran siapa kita ini. Nah disini proses itu tidak bisa jujur sejujur-jujurnya. Pasti ada perubahan image. Kalimat ini menjelaskannya, “Kok beda sama facebook?” Bukankah tanpa sadar kita sudah memiliki dua kepribadian? Pribadi beridentitas tertentu di dunia maya dan pribadi pribadi beridentitas tertentu di dunia nyata.
Mari kita berusaha memikirkan proses pembentukan pribadi dan identitas tadi. Pertama, semuanya dilakukan dalam kesendirian; kedua, dilakukan dengan membayangkan berbagai kemungkinan yang tidak nyata; ketiga, perlahan hal itu merubah keseharian kita. Teman saya menyebut hal ini mengerikan. Mengapa? Dari bayi sampai kecil kita diajar untuk berperilaku tertentu. Ada waktu yang cukup panjang yang kita lampaui sampai menjadi kita saat terkini. Nah dalam proses berinternet, perubahan sikap dijalankan dalam hitungan yang amat cepat. Tidak perlu bertahun-tahun. Sepertinya—lagi-lagi—sederhana, tapi dalam percepatan itulah kebingungan sedang merasuki banyak pribadi. Saya membahasakan begini: eh saya bisa sendirian menentukan identas, eh saya tidak perlu orang lain, wow saya bisa menjadi batman di facebook, wow saya bisa menjadi orang kuat di facebook dst. Tapi di sisi lain kita juga merasa: lho kok cepat sekali berubah, waduh kok saya harus tetap berkepribadian seperti batman, bagaimana ini, lho saya kan tidak kuat, lho saya harus menyiapkan skenario tertentu di facebook. Semua berlangsung cepat. Tapi kemudian saya juga berujar: tapi kok asik ya? wah saya bisa jadi apa saja nih. Pada titik ini, bukankah kepribadian kita terpecah? Bukankah tubuh kita tidak terlibat dalam kepribadian yang lain itu? Semua menjadi serba cepat dan kata instan dalam arti yang buruk bisa dilihat di sini karena yang cepat itu membuat jiwa dan tubuh kita terpecah. Bukankah kemanusiaan kita menjadi tidak utuh? Ketidakutuhan itu semakin nyata dengan makin hilangnya keunikan karena penyeragaman.
Fakta lainya, kita melakukannya dalam kesendirian secara bersama-sama. Kita memerlukan suatu cara pandang baru dalam konteks ini. Tantangan tersendiri juga buat agama karena: di internet tidak peduli agamanya apa pokoknya kita dibujuk untuk membangun identitas baru dalam keramaian sekaligus kesendirian. Nah makin kuat kan kesan ketidak utuhan manusia?
Saya tidak sedang berusaha mengajak orang membenci internet, mungkin saya juga salah. Saya sedang mengajak berefleksi ... agar kemanusiaan kita menjadi utuh dan agar kita siap menghadapi tantangan hidup baru bernama: sendiri bersama-sama.